Jumat, 20 Agustus 2010

Tradisi dan Budaya Bali

                            Desa Trunyan - Penduduk Asli Bali
Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Kebudayaan orang Trunyan mencerminkan satu pola kebudayaan petani yang konservatif.
Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang.
Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur.
Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
  1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
  2. Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat 1 kuburan yaitu:
1.
Sema wayah diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah
2.
Sema bantas, diperuntuukan untuk dengan penguburan.
3. Sema nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah (exposure) maupun penguburan.
 Sumber :



TRADISI PERANG PANDAN/MEKARE-KARE 
DI DESA TENGANAN - KARANGASEM

Tradisi perang pandan atau yang sering disebut mekare-kare di Desa Tenganan dilakukan oleh para pemuda dengan memakai kostum/kain adat tenganan, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk melindungi diri. Tradisi ini berlangsung setiap tahun sekitar bulan Juni, biasanya selama 2 hari.Perang pandan diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, setelah itu perang pandan dimulai dan kemudian ditutup persembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan menghaturkan tari Rejang.

Bali hingga kini tetap melestarikan atraksi kuno yang menyuguhkan pemandangan kontras. Salah satu sisinya menampilkan atraksi menegangkan para pengunjung. Pasangan pria yang masing-masing dilengkapi perisai anyaman dan bersenjata seberkas potongan daun pandan berduri beradu ketangkasan untuk saling melukai lawannya.

Duri pandan yang tertancap dalam atau merobek daging tubuh disusul cucuran darah segar adalah risiko bagi pelaga yang tidak tangkas menangkis. Namun, dari atraksi itu pengunjung juga disuguhi pemandangan kontras. Aksi saling melukai tersebut justru dilakukan sambil mengembangkan senyum ceria. Bahkan, tidak sedikit pasangan tanpa menggunakan tameng langsung berpelukan dan saling melukai.Atraksi saling melukai dengan wajah senyum ceria itu dikenal bernama perang pandan. Di Bali, perang pandan adalah atraksi khas masyarakat Tenganan di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, ujung timur Pulau Dewata. Jarak komunitas ini sekitar 70 kilometer dari Kota Denpasar atau membutuhkan waktu lebih kurang 70 menit dengan kendaraan roda empat.

Masyarakat Tenganan, sebagai ahli waris tradisi kuno itu, sejak lama selalu setia mementaskan perang pandan. Tradisi itu biasanya dilaksanakan sekitar pertengahan Juni. Seperti disaksikan, ribuan pengunjung seakan tumpah ke Kampung Bali Aga itu. Mereka berasal dari berbagai perkampungan di Bali, Jawa, dan daerah lainnya. Juga tidak sedikit di antaranya adalah wisatawan asing dari Eropa, Jepang, Taiwan, dan berbagai negara lainnya.Karena merupakan tradisi khas milik Tenganan, tempat pelaksanaannya pun hanya di kawasan tersebut. Persisnya di Tenganan Pegringsingan (TP) dan Tenganan Dauh Tukad (TDT), dua desa adat bertetangga rapat yang hanya dibatasi alur sungai.Namun, perang pandan di TDT sejak tahun lalu terpaksa batal dilaksanakan karena kampung yang hancur akibat gempa dahsyat tanggal 2 Januari 2004, hingga kini belum sepenuhnya pulih.

     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar